Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat Pilihan tentang Kehidupan yang Berjudul Es Dawet Mamang

 

Cerpen Singkat Pilihan tentang Kehidupan yang Berjudul Es Dawet Mamang


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Di sini kalian bisa menikmati cerpen, cerbung, cernak, cermin, puisi, reviuw buku. Kali ini kami menghadirkan Cerpen Singkat Pilihan tentang Kehidupan yang Berjudul Es Dawet Mamang. Selamat menikmati.

Jangan lupa bagi yang mager untk membaca tenang saja kami persilakan untuk mampir ke youtube cerita keren. Cerita-cerita di sini kami usung ke sana. Silakan klik di sini. Terima kasih. Semoga harimu menyenangkan.

****

Abbas sempat berhenti dan terpaku sesaat kala melihat bendera kuning tertancap di depan rumah Rani. Perasaannya berkecamuk. Ada rasa sedih dan senang jadi satu. Dia yakin yang meninggal dunia di rumah Rani adalah Raja. Suami Rani yang lumpuh setengah tubuhnya tiba-tiba usai beberapa bulan menikahi Rani.

“Buk, yang meninggal siapa?” tanya Abbas penasaran saat salah satu pelayat melewatinya. 

“Pak Raja, Mang. Saya pamit ke sana dulu, ya.” Ibu berkerudung merah itu cepat-cepat pamit untuk takziah. 

Helaan napas Abbas berat, lantas membuangnya pelan. Seperti ada beban yang dipendam, kini usai. Dia mengelus dada seraya melajukan kembali motor yang membawa gerobak dawetnya. Kala tepat melewati depan rumah Rani, Abbas mengendarai dengan pelan sangat. Matanya mencari sosok pemilik rumah yang sedang berduka. Meski hanya bisa terlihat sekilas, tetap saja hal itu membuat sedikit lega hati lelaki berusia 26 tahun itu. 

“Mang! Dawet, Mang!” 

Sampai ke desa sebelah pun pikiran Abbas masih terpaut pada Rani. Buktinya ada pelanggan yang memanggil-manggil pendengaran Abbas tak mampu ditembus oleh suara cempreng itu. Hingga beberapa detik, Abbas akhirnya tersadar. Dia menoleh ke belakang. Tampak seorang ibu berdaster merah melambai-lambai. Terpaksa Abbas mengerem mendadak. Hampir saja tersungkur di got.

“Mang, dipanggil-panggil dari tadi enggak dengar.” 

Bukan tanpa alasan ibu itu berang. Sudah sekuat tenaga dia mengeluarkan energi dan suara. Sementara Abbas masih tetap melaju dengan santai banget.  

“Oh, ya. Maaf, Buk. Mau pesan berapa?”

“Lima ribu aja, Mang.”

Lelaki penjual dawet itu mulai menyiapkan pesanan pelanggannya dengan plastik. Dengan pikiran yang terbang entah ke mana. 

“Mang, itu kepenuhan!” Pelanggan itu setengah teriak. 

Abbas terperanjat. Sekonyong-konyong tangan Abbas melepaskan dawet yang belum sempat dikaret. 

“Ya, Allah. Maaf, ya, Buk.” Sesegera mungkin Abbas mengganti dawet pesanan pelanggan.

***

Abbas membunyikan suara klakson khasnya saat berjualan dawet berkali-kali. Terutama saat di depan rumah Rani. Pelanggan setianya. Dulu. Sejak Rani ditinggal suaminya, belum pernah membeli kembali dawet Abbas.

“Mang! Dawetnya, Mang!” 

Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu Abbas memanggil. Senyum semringah Abbas terpasang di wajahnya. Hatinya berdebar kencang serasa hendak meloncat keluar. Bukan kali ini saja. Setiap bertemu dengan Rani rasa itu masih sama seperti dulu.

“Berapa, Neng?” 

“Dua, Bang. Lima ribuan, ya. Untuk Ibu saya satu,” balas Rani.

“Maaf, Neng izin tanya emangnya sudah berapa bulan itu?” Mata Abbas menuju pada perut buncit Rani.

“Sekarang sudah delapan bulan, Mang. Tapi, enggak tahu kenapa rasanya pengen mulu makan dawet Mang Abbas. Mohon doanya, ya, Mang. Semoga nanti lahiran lancar. Ya, meski tanpa Kang  Raja.” Suara Rani hampir tak terdengar pada kalimat terakhir.

“Iya, Neng. Aamiin. Semoga semuanya dilancarkan.” Abbas mengangguk pelan.

Rina pun kembali dengan membawa kembalian dari Abbas. Apesnya baru beberapa langkah Rina hampir saja jatuh. Abbas tanggap sekali. Segera tangannya menopang tubuh Rina. Kini wajah mereka berdua hanya berjarak sekitar lima sentimeter.

“Aduh. Maaf, Neng. Neng Rina enggak pa-pa?” 

Hampir saja jantung Abbas copot. Untung segera sadar dan menormalkan diri kembali. Antara khawatir dan senang masuk semua dalam hatinya. 

“Saya harusnya yang minta maaf, Mang. Aduh. Terima kasih banyak, Mang.” Rani mengusap lengannya yang kotor. Lantas, berlalu kembali dengan menyisakan senyuman yang melekat di pikiran Abbas. Sementara itu, Abbas terus memandang punggung Rani hingga menghilang.

***

“Bas, Ibuk, kan sudah tua. Pengen lihat kamu menggunakan baju pengantin sebelum Ibu nyusul bapakmu.” Sembari menyesap teh hangat buatan Abbas, Surti menikmati sore hari di beranda rumahnya. 

“Santai aja, Buk. InsyaAllah bentar lagi Abbas bawa calon Abbas ke sini. Sabar, ya, Buk.” Abbas menatap lekat wajah ibunya untuk meyakinkan.

“Emang sudah ada calonnya? Kenapa enggak dibawa ke sini sekarang aja?” 

Surti antusias, bersiap mendengar jawaban dari putranya. Mimiknya tiba-tiba berseri penuh harap. Kini dia mengubah posisi menghadap Abbas.

“Sabar, Buk. InsyaAllah.” 

Ekspresi dan jawaban Abbas tak sesuai ekspektasi Surti. Bahkan, Abbas justru meninggalkan ibunya ke dalam begitu saja.

“Udah mau magrib, Buk. Yok, masuk,” ujar Abbas sambil lalu tanpa menoleh ibunya. Hal itu sukses membuat Surti sebal dan makin penasaran.

Malam ini Abbas hendak beli nasi goreng untuk makan malamnya bersama Surti. Kebetulan warung nasi gorengnya dekat rumah Rani. Tahukan bagaimana perasaan Abbas saat disuruh Surti untuk membeli nasi goreng? Ya semangatlah. Bagaimana tidak? Dia bisa mencuri pandang ke rumah Rani kala menunggu nasi goreng untuknya.

“Itu ada apa, Pak di rumah Rani? Kok, banyak mobil?”

Baca juga: Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 10)

“Oh, itu. Rani dilamar oleh adik mantan suaminya. Dulu sama abangnya sekarang dapat adiknya. Baru beberapa hari lalu Rani melahirkan, langsung diikat lagi.”

Penjelasan tukang nasi goreng itu padahal biasa saja. Akan tetapi, bak petir yang menyambar hati Abbas. Hancur. Seketika kaki Abbas melemas seperti tak bertulang. Lemas. Dia kalah cepat. Beberapa kali Abbas menyukai perempuan sebelum Rani, tetapi selalu kalah dengan lelaki lain yang menikahi perempuan incarannya.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com