Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 10)

 

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 10


Assalamualaikum. Selamat datang kembali semua. Kini kisah Mas Duda muncul lagi. Ada yang kangen? Hahaha. Kita lanjutkan Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 10), ya. Selamat membaca. InsyaAllah akan hadir setiap Sabtu. Jangan sampai ketinggalan, ya. Mohon bantuannya untuk share, comment. Kalian juga bisa mengunjungi youtube Cerita Keren untuk cerita-cerita di sini. Klik di sini.

Bagi teman penulis, jika bukunya hendak direviuw dan masuk ke sini, silakan langsung hubungi Zahra Wardah. Semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

**** 

Bab 10: Ibu Kenapa?


Hari ini lebih banyak menghabiskan waktu belajar Anin untuk bercanda dan saling tertawa. Anin tampak bahagia sekali. Pun sepertinya pelajaran yang aku ajarkan lebih gampang ditangkap olehnya. Sesekali pertanyaan tentang Mas Duda aku selipkan. 

“Menurut Anin, Ayah itu baik enggak, sih?” 

“Ayah itu baik, Kak. Kakak mau sama Ayah? Biar Anin punya Ibu dan Kakak.” 

Pertanyaan polos Anin, mengagetkanku. Sampai minuman yang sudah di ujung tenggorokan terpaksa keluar dan menyemprot. 

“Aduh, maaf Anin.” Aku buru-buru meraih tisu dan membersihkan tangan Anin.

“Enggap pa-pa, Kak. Kakak tersedak?” 

Aku menggeleng sembari membersihkan percikan-percikan air tadi. Aku mengambil napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Supaya keadaan normal kembali. 

“Nanti biar Anin kasih tahu Ayah kalau Kakak mau. Mau, ya. Mau, ya.” Anin menarik-narik manja lengan bajuku sembari mengulas senyum.

Belum sempat aku membalas, ponsel di meja berpendar-pendar. Itu ponselku. Nama Ibu tertulis di sana. 

“Bentar, ya, Anin. Ibu Kakak nelpon  ini,” pamitku seraya mengambil ponsel warna hitam.

Anin mempersilakanku dengan isyarat tangannya. Aku segera keluar, lalu menjawab panggilan Ibu.

“Ibu, ada apa, sih. Mila, kan, masih ngajar Anin.” Aku mengawali percakapan tanpa salam terlebih dahulu.

“Ini dengan Mila?” Dari ujung sana yang muncul adalah suara lelaki. 

Seketika perasaan cemas dan khawatir mencuat. Kenapa suara yang tak kukenal yang menjawab? Ibu ke mana?

“Iya, dengan saya sendiri. Maaf ini dengan siapa, ya?” tanyaku hati-hati.

“Ibunya Mbak Mila tadi pingsan di jalan. Sekarang di rumah sakit.” 

Seketika ponsel terjatuh ke lantai. Suara panggilan Anin menyadarkanku. Aku lekas mengambil, lalu pamit kepada Anin.

“Maafkan Kakak, ya, Anin. Ibu Kakak di rumah sakit. Kakak harus ke sana.” Aku berlalu tanpa menunggu jawaban dari Anin. Sembari menyambar tas jinjing, aku setengah berlari. 

Pertama aku pulang ke rumah, setelah itu mengendarai motor menuju rumah sakit sampai lupa mengenakan helm. Di pertengahan jalan, hujan lebat. Hatiku sesak. Air mata luruh di bawah derasnya hujan. Basah kuyup. Ibu memang sudah lama mengidap diabetes. Setelah kuingat-ingat akhir-akhir ini Ibu banyak memakan makanan manis-manis. Minum teh manis, ubi cilembu yang terkenal sangat manis.

Kenapa aku ini? Memikirkan Mas Duda, hingga Ibu sendiri terabaikan. Maafkan aku Ibu. Sekedar mengingatkan pun aku lalai. Sampai di rumah sakit. Kuusap terlebih dahulu sisa kesedihan di pipi, lantas segera mencari Ibu.

***

“Ibu, maafkan aku,” lirihku di samping Ibu sembari mencium punggung tangannya.

“Apa yang perlu dimaafkan? Ibu hanya kelelahan.” Lamat-lamat aku mendengar suara Ibu.

Aku mendongak. Tampak Ibu sudah sadar dan tersenyum manis. Aku mengucek mata untuk memastikan yang di hadapan ini benar. Ternyata benar, Ibu sudah sadar. Alhamdulillah.

“Aku enggak mengingatkan Ibu supaya tidak berlebihan dalam konsumsi gula.” 

“Hemmm ... kalau Ibu sudah tumbang begini baru sadar diri. Dasar anak nakal,” canda Ibu seraya mengelus pelan kepalaku. 

Benar juga yang dikatakan Ibu. Aku terlalu cuek dengan kesehatan Ibu. Bahkan, sebelum kenal dengan Mas Duda pun aku tak begitu peduli. Yang kutahu hanya Ibu mengidap diabetes. Ibu pun jarang sekali mengeluh bahkan aku tak pernah mendengar Ibu mengeluhkan penyakitnya.

Sejurus kemudian, terdengar ketukan pintu dan dua petugas masuk untuk memberikan makanan untuk pasien. Mereka menyiapkan di atas nakas. Lantas berlalu setelah Ibu mengucapkan terima kasih.

Tak perlu disuruh. Aku sadar diri untuk segera menyuapi Ibu. Sedikit demi sedikit Ibu menikmatinya. Angin kebahagiaan menerpa. Baru kali ini hatiku terasa sebahagia ini kala melihat Ibu mengulas senyum.

“Terima kasih, anakku sayang sudah menyuapi Ibu,” pungkasnya setelah selesai menghabiskan semangkuk bubur ayam.

Aku menatap lekat wajah Ibu. Inilah Ibu yang telah melahirkanku. Kemudian, aku memeluknya.

“Seharusnya aku yang berterima kasih, Bu. Dan minta maaf. Kenapa harus Ibu yang ....” Aku tak kuat melanjutkan perkataanku. Tetesan hangat kembali membanjiri pipi. 

Saat kami berpelukan, ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini seorang lelaki mengenakan jas putih dengan papan nama di jasnya “Hendry Purnomo”. 

“Wali dari Ibu Nisa boleh ikut saya sebentar,” ujar Dokter Hendry seusai aku mengurai pelukan.

“Iya, Dok.” 

Baca juga: Puisi-Puisi Kemerdekaan Indonesia

Aku memberi isyarat dengan anggukan untuk pamit kepada Ibu. Ibu pun membalas dengan sama. Ada perasaan tak beres menuju ruangan Dokter Hendry. Sesampai di sana. Ruangan Dokter Hendry terasa begitu dingin. Hal ini menambah rasa gelisahku. Atau mungkin karena aku saja yang terlalu khawatir jadi kantor dokter terasa dingin. Meski dingin, telapak tanganku justru berkeringat. 

“Jadi, begini. Penyakit diabetes Ibu Anda ini sudah parah. Sekarang jantungnya pun ikut bermasalah. Jadi, beberapa hari ini harus dikontrol dengan baik di sini oleh tim saya. Belum boleh pulang dulu.” 

Meski intonasi Dokter Hendry halus, tetap saja di sudut hatiku serasa ditusuk sembilu. Sakit tak berdarah. Bagaimana bisa aku seteledor ini tentang kesehatan Ibu? Aku merasa menjadi anak durhaka. Ampuni aku ya Allah.

“Ba—baik, Dok. Asalkan Ibu saya sembuh.” Kata-kataku terbata.

Entah apa lagi yang dikatakan Dokter, aku tak fokus. Seusai Dokter berbicara, aku segera minta diri. Tak sanggup lagi. Aku berlari ke toilet. Di sana aku menangis sejadi-jadinya, melepaskan segala yang mengganjal. Untungnya tak ada orang yang ke toilet. Jadi, aku bebas berekspresi tentang perasaanku. Sekitar sepuluh menit aku di toilet. Setelah keadaan kembali normal, aku keluar. Tepat di depan pintu toilet, aku berpapasan dengan Mas Duda.

“Kakak!”

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com + pixelLab