Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Buah Penantian Panjang

Buah Penantian Panjang

  

  “Aduh!” lelaki itu memekik dengan memegang kaki kanannya sebelum akhirnya melarikan diri. Lelaki berbaju serba hitam itu melarikan diri dengan tertatih-tatih.

    “Bapak, enggak pa-pa?” tanya Rido yang tadi berhasil melumpuhkan kaki perampok barusan, seraya lari mendekati Pak Rahmad yang masih terduduk.

    “Enggak pa-pa, Nak. Terima kasih banyak, Nak.”

    Matahari mulai kembali ke peraduan. Warna jingga dari sang surya pun begitu indah. Namun, tak seindah suasana sore itu. Beberapa saat yang lalu, Rido yang masih mengenakan seragam guru itu menyaksikan Pak Rahmad yang ditodong pisau oleh seseorang bertopeng. Perampok itu meminta semua uang lelaki paruh baya itu. Spontan Rido yang dalam perjalanan pulang dari sekolah, berhenti dan memarkirkan motornya begitu saja. Dia mengeluarkan segenap tenaganya untuk melawan perampok bertopeng itu, hingga akhirnya kaki kanan perampok bisa dilumpuhkannya. 

    “Sama-sama, Pak. Maaf saya tidak bisa mengejar pencuri tadi. Yok, saya bantu berdiri.”

    Dengan dibantu Rido, Pak Rahmad berdiri dengan pelan-pelan. Umur yang sudah tergolong  senja membuatnya harus berhati-hati menggerakkan bagian tubuhnya. 

    “Namamu siapa, Nak? Kalau enggak ada kamu, enggak tahu bagaimana nasib saya.”

    “Panggil saja saya Rido, Pak,” balas Rido seraya membereskan gerobak dagangan yang sudah berantakan milik Pak Rahmad.

    Warga sekitar mulai ramai mendekati mereka berdua. Sebagian mereka saling bertanya tentang kejadian barusan. Pak Rahmad pun menjelaskan dengan rinci kejadian yang dialaminya. Sedangkan, Rido masih fokus dengan kegiatan sebelumnya. Di antara mereka ada yang menelepon polisi supaya menangkap perampok Pak Rahmad. Semuanya dipasrahkan Pak Rahmad kepada pihak yang berwajib. 

    Setelah memastikan bahwa tidak ada barang yang tercecer, Rido menawarkan diri untuk mengantar Pak Rahmad pulang. Di sambut dengan senang hati oleh lelaki berpeci putih itu. Rido membawakan gerobak gorengan milik Pak Rahmad. Mereka melewati gang kecil yang tidak jauh dari tempat mangkal Pak Rahmad. 

    “Di sini rumah, Bapak?” tanya Rido setelah sampai di rumah petak kecil dengan cat yang sudah mengelupas semua.

    “Iya, Nak. Mari masuk dulu. Bapak tinggal sendirian di sini,” ajak lelaki tua itu sembari membuka pintu rumahnya.

    Rido mengikuti titah Pak Rahmad. Dia duduk di tikar tua yang sudah terbentang si sana. Diperkirakan rumah itu sudah berusia sangat tua. Tak ada hal khusus yang tertangkap oleh pandangan Rido di ruang tamu itu, hanya satu benda yang menjadi fokusnya. Dia sangat penasaran.

    “Pak, itu foto bapak asli, ya?” tanya lelaki bertubuh atletis itu sembari menunjuk foto lelaki berpeci putih di depan ka’bah. 

    “Asli, Nak. Ini diminum dulu, tehnya.” Pak Rahmad yang baru saja dari dapur menyajikan minuman untuk tamunya. 

    “Alhamdulillah, rezeki saya sudah bisa sampai sana. Saya ingat kata-kata ustaz di masjid yang berkhutbah salat Jumat ‘apa pun hajatmu, coba ikhtiari dengan selalu bersedekah dan selawat kepada Rasulullah’. Bapak hanya bisa mengamalkan selawatnya. Minimal setiap hari seribu kali. Eh, beneran. Setelah saya amalkan selama sebulan penuh tanpa jeda. Alhamdulillah ada orang baik yang mengajak saya daftar haji. Di sini saya sendirian, makanya rumah ini tak terawat ... istri sudah meninggal. Sedangkan, anak saya sudah berkeluarga semua.” Panjang lebar lelaki yang bekerja sebagai jualan gorengan menceritakan kisah hidupnya. Rido hanya manggut-manggut. 

    Buih-buih kekaguman muncul di hati guru Olahraga itu. Sebagai insan yang lebih muda, dia merasa masih jauh di bawah Pak Rahmad rasa syukur, sifat qona’ah, dan pengetahuan keagamaannya.

***

    “Dek, mulai sekarang, yok kita amalkan baca selawat sebanyak-banyak setiap hari. Minimal seribu. Ini untukmu dan juga rajin bersedekah,” kata Rido kepada istrinya seraya memberikan tasbih.

    Istrinya yang baru saja dari dapur meletakkan kopi di meja, lalu memandang lekat suaminya. Dia mengerutkan dahi.

    “Untuk apa, Mas?” 

    “Bukannya kita sangat menginginkan buah hati? Sudah lima tahun kita menikah belum juga ada tanda-tanda kamu hamil. Hemmm ... mana tahu atas izin Allah setelah kita mengamalkan selawat, calon anak kita hadir.” Lelaki bersarung hitam polos itu pun balik menatap istrinya lekap. Dia mengangsurkan kembali tasbih yang belum diterima oleh wanita berkerudung hitam itu.

    “Amin.” Siti menerima tasbih itu, kemudian langsung memainkan manik-maniknya dengan membaca selawat.

    Sepasang suami-istri itu bercengkerama setelah menyelesaikan misi mereka. Misi untuk sebuah harapan besar mereka. Berhubung jam di dinding sudah menuju angka sepuluh, Siti mengambil gelas bekas kopi yang sudah kosong ke dapur. Dia mencucinya. Tiba-tiba membuntuti wanita itu.

    “Dek, besok buat bekalnya jadi dua, ya. Ada bapak-bapak penjual gorengan sudah tua di dekat sekolah. Dia hidup sendirian. Kasihan ,” pinta Rido.

    “Iya, Mas. Besok aku siapkan dua bekal.”

    “Terima kasih, Dek. Jangan lupa amalan harus dilakukan setiap hari.” Rido berlalu menyisakan istrinya yang masih berkutat dengan dapur. 

    “Nggih, Mas.”

Baca juga: Sepatu dari Kakek

***

    Pagi sekitar jam tujuh Rido sudah siap dengan seragam olahraganya. Hari ini dia mengajar olahraga di jam pertama. Angin pagi terasa sangat sejuk oleh hujan yang turun tadi malam. Pun sinar mentari pagi ini menambah eloknya ciptaan Allah yang sangat sempurna hari ini. Rido mencari istrinya yang masih menyiapkan bekalnya di dapur. Sebagai guru olahraga dan bela diri, Rido selalu berusaha menjaga kesehatannya dengan masakan rumahan. Bagaimana pun enaknya masakan di luar baginya masakan istri yang terenak. 

    “Sudah siap, Dek bekalnya?” tanya Rido seraya mendekati Siti.

    “Sudah, Mas. Ini.” Wanita itu menyerahkan dua kotak bekal yang sudah disiapkannya. Lantas, mencium punggung tangan suaminya.

    “Ya, sudah, Mas berangkat dulu. Hati-hati di rumah, ya,” ujar Rido dengan mengecup pucuk kepala wanita yang sangat dicintainya. 

    Rido pergi ke sekolah dengan motor hitam miliknya. Tak lupa setelah sampai di gang Pak Rahmad, dia belok menuju rumah penjual gorengan itu. Namun, di sana dia dibuat terkejut oleh bendera kuning yang terpampang di depan rumah kecil itu. Tak sadar mulutnya menganga. Di sana banyak warga sekitar berkumpul. Samar-samar terdengar suara orang yang bertakziah bicara tentang kebaikan-kebaikan Pak Rahmad. 

    Menurut cerita dari tetangga, Pak Rahmad terpeleset di depan rumahnya. Kepalanya mengenai batu yang ada di sana, hingga gegar otak dan tak tertolongkan.

    “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Pelan-pelan lelaki berperawakan tinggi itu melafalkan kalimat istirja.

    Dia masuk ke rumah Pak Rahmad, melihat jenazah yang siap untuk disalatkan. Rido duduk tepat di sebelah jenazah Pak Rahmad. Kemudian, lelaki itu meraih surat yasin yang berada di dekatnya. Rido membacanya untuk seorang yang menjadi guru dalam kehidupannya. “Selamat jalan Pak Rahmad. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan menerim semua amalmu” batin Rido.

***

    Azan Subuh sudah terdengar dari masjid ke masjid. Rido mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu terjaga setelah menyadari istrinya sudah tidak ada di sampingnya. Tumben istrinya lebih dahulu bangun, biasanya Ridolah yang membangunkan istri terkasihnya itu. Masih dengan usaha mengumpulkan nyawa bangun tidur, dia melihat istrinya sesenggukan di depan kamar mandi.

    “Kenapa, Dek?” 

    Siti tak menjawab, malah semakin kencang tangisnya. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Dia memeluk suami yang berada di depannya.

    “Ada apa, Dek? Cerita, dong.”

    Rido makin bingung. Lantas, lelaki itu mengajak istrinya untuk duduk di kursi yang berada di ruang makan. Mereka duduk berhadapan. Rido memegang kedua lengan tangan Siti dan menatapnya dalam-dalam. Dia menunggu wanita itu sampai tenang. Seusai tangis Siti reda, dia menyodorkan alat tes kehamilan kepada Rido. 

    “Apa ini maksudnya?”

    Kini mata Rido benar-benar membulat setelah pelan-pelan dia baca penjelasan yang ada di sana. Sesuai dengan keterangan dia melihat garis merah dua di alat itu, yang artinya Siti sedang hamil.

    “Ya Allah. Alhamdulillah. Allahu akbar.”

    Sekarang giliran tangis Rido yang pecah. Tak sangka sesuatu yang ditunggu-tunggunya datang. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah. Seketika dia sujud syukur di tempat di mana dia membaca alat  tes kehamilan tadi. Rahasia Pak Rahmad untuk meraih apa yang diinginkan telah dibuktikan oleh Rido. 

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: kompasiasa.com