Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Pencarian Etalase

Etalase

 

 “Cup, aku minta jajanmu, dong,” pinta Sugi yang menyadari bahwa Ucup baru saja mendapat kiriman dari orang tuanya.

    “Ih, kamu aja kalau dapat kiriman enggak mau berbagi. Hemmm ...” gerutu santri bertubuh kurus itu. Meski begitu dia tetap memberikan sedikit serabi yang dibuat oleh ibunya dari rumah.

    Kali ini yang mendapat kiriman dari rumah adalah Ucup, sedangkan Sugi sudah dua hari yang lalu mendapat paket dari kampung. Mereka berdua adalah sahabat karib di pondok pesantren Al-Huda. Sifat Ucup yang dermawan dan sabar dimanfaatkan oleh Sugi dengan cara mendekatinya. Wajah Sugi bisa mendadak semringah saat teman-teman mendapat kiriman dari orang tua mereka. Dia akan segera mendekati, berharap mendapat sedikit makanan. 

    Sebab itu, lelaki berbadan tambun itu dijuluki ‘yadis sufla’ atau si tangan di bawah. Mereka dapat istilah itu dari cuplikan suatu hadits yang mereka pelajari di kelas, ‘tangan di atas lebih baik  dari pada tangan di bawah’. Walau dijuluki demikian Sugi tetap santai dan masih melakatkan sifat sering memintanya saat ada makanan yang menggoda. 

    Surya berada tepat di atas kepala manusia. Dapur pondok mulai padat dengan santri-santri yang mengantri jatah untuk makan siang. Dahi Sugi berkerut dan mulutnya maju beberapa sentimeter melihat itu. Dia sangat malas sekali dengan kata ‘antri’. Padahal sudah dua tahun lelaki bertubuh gempal itu menghabiskan waktunya di pondok pesantren. Akan tetapi, mengantri adalah hal yang berusaha dia hindari. 

    Tiba-tiba ide nakalnya melintas di kepala. Dia keluar dari pondok dengan mengendap-endap melalui lorong menuju jalan keluar pesantren. Di sana terdapat gerbang yang bisa diraihnya. Santri dengan sarung kotak berwarna hitam dan putih itu menaiki gerbang yang tidak terlalu tinggi. Masih dengan posisi membungkuk, lelaki itu segera menjauh dari pesantren. Dia hendak membeli makan untuk memenuhi perutnya. Setelah sampai di persimpangan, pandangannya diedarkan sejauh mata memandang.

    Satu etalase di depan sebuah ruko menjadi pusat perhatiannya saat itu. Sugi mendekati etalase tersebut. Mulutnya mengucap pelan-pelan tulisan yang tertempel di sana untuk memastikan kebenaran yang baru dibacanya. 

    “Nasi gratis. Kebetulan ini. Jadi enggak perlu uangku keluar,” lirihnya. Jiwa medit dan hematnya keluar. Kemudian, dia mengambil satu nasi bungkus yang ada di sana. 

***

    Ternyata nasi gratis di etalase tempo hari menjadikan Sugi ketagihan hendak ke sana lagi. Kali ini dia berharap bisa membawa Ucup. Dia akan memamerkan hasil mengembalanya keluar pondok tanpa izin. 

    “Aku takut, Gi. Nanti kalau ketahuan kena takzir lagi. Aku enggak mau, ah.”

    “Enggak bakalan ketahuan, Cup mau kamu kelaparan karena kehabisan lauk?” bujuk Sugi dengan rayuan mautnya. 

    Beberapa menit dihabiskan Ucup untuk berpikir. Batinnya bergejolak. Hatinya memilih jangan, tetapi nafsunya memilih untuk ikut bersama Sugi. 

    “Ya sudah aku ikut. Tapi kamu jamin kita enggak kena hukuman nanti?” tanya lelaki bersarung biru tua dengan sedikit berbisik.

    Sugi hanya mengangguk pelan, lalu mulai menyuruk menuju gerbang belakang seperti yang biasa dia lakukan. Pun Ucup yang setia mengikuti aba-aba dari Gugi. Segera mereka berdua menuju persimpangan jalan. Sugi mengarahkan pandangannya ke sebuah ruko berwarna hijau. Akan tetapi, di sana tak terlihat lagi etalase nasi gratis itu.

    “Kemarin ada di depan ruko itu, loh, Cup.”

    “Halah. Kamu bohong,  ya?” tanya Ucup tak percaya.

    Mereka berdua berkelintaran di sekitar area ruko itu, melacak keberadaan etalase. Akan tetapi, tak membuahkan hasil juga. Sedangkan sinar matahari sudah menjingga, siap untuk kembali ke peraduan. 

    “Kita balik saja, Gi. Bentar lagi masuk Magrib. Aku takut kita ketahuan.”

    “Iya, deh. Besok aku coba ke sini lagi.” 

    Akhirnya kedua santri itu balik badan. Mereka kembali ke tempat mereka menimba ilmu saat itu. Sepanjang perjalanan pulang Ucup selalu merutuki nasibnya.

    “Tahu gini, aku enggak ikut kamu tadi, Gi. Sudah perut enggak keisi. Capek lagi mencari etalase impian kamu itu. Hemmm ....”

    Sugi hanya diam. Bukan karena diomeli oleh sahabatnya itu, melainkan karena dia masih penasaran ke mana perginya etalase yang baru kemarin berada di sana. 

Baca juga: Buah Penantian Panjang

***

    Rasa penasaran Sugi tentang etalase itu sangat dalam. Hari ini dia berniat untuk menyelidiki. Beberapa kali Ucup diajak kembali, tetapi dia tak berhasil membujuknya. Akhirnya dengan sendirian dia kembali meninggalkan pondok tanpa izin. Segera dia lari menuju tujuannya. Sampai di sana napasnya masih naik turun. Sugi melihat di depan ruko itu seorang ibu paruh baya sedang mengangkat beberapa barang dari dalam ruko itu. Penasaran santri berpeci hitam itu menghampiri.

    “Assalamualaikum ....”

    “Waalaikumussalam,” balas Ibu yang berkerudung hitam itu lengkap dengan suguhan senyum manisnya.

    “Ada apa, Nak?” 

    “Hemmm ... anu, Bu. Ibu yang tinggal di ruko ini, ya?” tanya Sugi.

    “Iya betul sekali, tapi saya mau pindah ke rumah asli saya. Tidak jauh dari sini, kok. Di sini saya ngontrak. Kamu santri, ya? Mau ikut dengan saya?” tawar wanita itu.

    Sugi mengangguk pelan. Rasa ingin tahunya begitu besar, hingga tak mau melewatkan kesempatan yang ada untuk misi pencariannya. Sugi menawarkan diri untuk membantu bawa sebagian barang milik ibu tadi. Kemudian, Dia mengikuti wanita tadi berjalan masuk ke salah satu gang dekat ruko. Sugi terperangah saat wanita yang dibuntutinya berhenti di depan rumah kecil di antara rumah-rumah yang bagus. Rumah itu tampak kontras dengan rumah lainnya dari segi luas dan tingginya. Di samping kanan rumah berlantai tiga dan di samping kiri rumah dengan halaman yang luas berlantai dua. Di depan rumah wanita tadi, Sugi juga mendapati etalase yang dia cari.

    “Ini rumah saya, Nak. Ohya, nama kamu siapa? Kalau saya panggil saja Bu Narti,” ucap wanita bergamis biru tua itu. 

    “Oh ... saya Sugi, Bu. Santri pondok pesantren Al-Huda.”

    Bu Narti hanya tersenyum, lalu mengajak Sugi masuk. Tak ada apa-apa di dalam ruang tamu itu. Bu Narti menuju dapur menyiapkan suguhan untuk tamunya. Beberapa saat kemudian, wanita paruh baya itu keluar dengan nampan penuh hidangan. Ada beberapa gorengan di dalam piring dan satu gelas teh hangat manis. Membuat isi perut Sugi semakin meronta.

    “Kamu enggak pa-pa keluar pondok?” Bu Narti mengawali percakapan mereka.

    “Enggak pa-pa, Bu ... kalau enggak katahuan. Hehehe.”

    “Walah, ya sudah ini di makan dulu, setelah itu kembali ke pondok lagi,” titah Bu Narti sambil mengangsurkan gelas yang berisi teh hangat.

    “Iya, Bu. Saya penasaran, kemarin saya sempat dapat nasi bungkus dari etalase di depan ruko ibu tadi.” Sugi mulai mengutarakan maksudnya.

    “Oh, itu bukan ruko saya. Saya ngontrak di sana. Ini rumah saya yang baru saya beli. Walau kecil yang penting nyaman.” Seulas senyum Bu Narti mewarnai sore itu.

    “Suami dan anak-anak ibu?”

    Mendengar pertanyaan Sugi wanita yang sudah mulai senja itu bergeming. Hening. Tampak nanar di bola mata Bu Narti. Sejenak dia mengatur napas, berusaha menekan rasa yang mengusik hatinya.

    “Anak saya enggak bisa dihubungi lagi setelah menikah. Suami saya baru dua bulan meninggal karena sakit. Etalase di depan itulah warisan dan amanahnya. Sebelum meninggal beliau berpesan supaya etalase itu digunakan untuk mengisi makanan dengan gratis. Semua orang boleh menaruh dan mengambil makanan di sana ... Kadang ada orang yang dermawan mengisi. Kadang kalau enggak ada yang ngisi, saya yang ngisi. Yang penting sebisa mungkin jangan sampai kosong etalase itu.” 

    Bu Narti panjang lebar menjelaskan semuanya seraya sesekali menyeka air mata yang tanpa izin keluar begitu saja. Santri putra yang mengenakan kemeja putih itu  pun larut dan iba oleh cerita Bu Narti. Sugi minta diri setelah menyadari sinar mentari mulai meredup. 

    Dalam perjalanannya pulang dia berjanji kepada diri sendiri untuk selalu memberi walau keadaan apa pun. Lelaki itu tak mau kalah dengan amalan janda yang baru saja ditemuinya. Pelan-pelan gelar ‘yadis sufla’ yang diberikan teman-temannya memudar. Seiring dengan perubahan sifat Sugi dari pelit menuju dermawan.

***

Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: id.gofreedownload.net