Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Yusuf

Cerpen Yusuf anak muslim

  

  Di musala kecil terdengar ramai sekali anak-anak desa mengaji. Pengampu mengajinya setiap bakda Maghrib itu adalah Ustaz Ja’far. Beliau sangat digemari oleh murid-muridnya karena kesabaran dan mampu menyelam ke dunia mereka. Meski usia yang sudah tidak muda lagi, beliau pandai sekali dalam mengambil hati anak-anak. Kegiatan mereka di musala hanya sampai Isya. Selepas salat Isya berjemaah mereka semua kembali ke rumah masing-masing.

    “Suf, kamu enggak pulang? Sini biar saya saja yang nyapu.” Ustaz Ja’far hendak mengambil alih dan meminta sapu di tangan Yusuf.

    “Biar saya saja, Pak Ustaz. Lagi pula ini sebentar, kok.” Begitulah setiap harinya Yusuf membantu Ustaz Ja’far. 

    Lelaki berpeci putih itu pun tersenyum bangga kepada Yusuf. Hanya dia yang rela menunda waktu pulang mengaji untuk membersihkan musala itu. Usianya masih sepuluh tahun, tetapi jiwanya sudah dewasa. Sering kali dia membantu Ustaz Ja’far di musala, terkadang mukena-mukena di sana pun dibawa pulang untuk dicuci. Kemudian dibawa lagi ke musala dalam keadaan sudah bersih. Tentu dengan izin Ustaz Ja’far terlebih dahulu. Meski begitu terkadang dia menjadi bahan bully-an teman-temannya saat mengaji. Sebab, dari dulu masih belum bisa membedakan huruf hijaiyyah yang dibaca panjang dan pendek. Namun, hal itu tak menjadikan Yusuf kecil hati, justru semakin semangat untuk belajar mengaji.

    “Aamana,” kata Ustaz Ja’far.

   “Amana.” Yusuf menirukan guru mengajinya itu, tetapi kurang sesuai panjangnya. Beberapa kali dicontohkan oleh Ustaz Ja’far, tetap saja Yusuf masih seperti semula. Kurang pas panjang pendeknya.

     “A-nya panjang, Suf.” Lelaki yang kepalanya hampir dipenuhi uban itu memberi arahan lagi.

     “Aa panjang.”

    Spontan murid-murid yang lain tergelak-gelak menertawakan Yusuf. Dari kejadian itu, Yusuf mulai jadi bahan ejekan oleh anak-anak yang lain. 

    “Saya doakan kamu jadi ahli Qur’an dan sukses selalu, Suf,” lirih Ustaz Ja’far saat melihat Yusuf membantunya tanpa diketahui oleh Yusuf.

***

    Saat mentari mulai beranjak dan sinarnya mulai menghangat, Yusuf menggunakan motor buntutnya menuju rumah Ustaz Ja’far. Ada yang ingin dia sampaikan. Sesampainya di halaman rumah yang dituju, lelaki bertubuh tinggi itu memarkirkan motor, lalu mendekat ke arah pintu masuk rumah sederhana itu.

    “Assalamualaikum ....”

    Tak perlu menunggu lama, balasan salam terdengar dari dalam rumah bercat putih yang sudah sedikit kusam itu.

   “Waalaikumussalam. Eh, Yusuf silakan masuk.” Ustaz Ja’far membukakan pintu untuk tamunya lengkap dengan senyum khasnya. Di rumah itu Ustaz Ja’far hanya tinggal sendiri. Istrinya sudah meninggal, sedangkan anak-anaknya sudah berumah tangga semua. Semua anaknya menawarkan supaya Ustaz Ja’far tinggal dengan mereka. Akan tetapi, tawaran anak-anaknya ditolak dengan halus. Beliau bersikeras tinggal di rumahnya sendiri dengan alasan supaya bisa tetap mengajar mengaji di musala yang tak jauh dari sana.

    “Ada yang bisa saya bantu, Suf?”

    “Begini, Taz. Saya mohon izin mau melanjutkan studi saya ke perguruan tinggi di kota,” jawab Yusuf dengan kepada masih sedikit menunduk.

    Ustaz Ja’far mengangguk pelan. Muridnya dulu itu ternyata kini sudah menjadi dewasa dan sudah pandai. Tak disangka sudah mau kuliah.

    “Iya. Tapi saya tidak bisa memberikan apa-apa untuk bekalmu, Nak. Hanya doa semoga kamu bisa sukses dunia akhirat. Aamiin.” 

  Yusuf pun meng-aminkan doa guru mengajinya saat kecil itu. Tangannya menengadah lantas mengusapkan ke wajahnya. Dirasa sudah terpenuhi hajatnya, Yusuf minta diri. Dia mencium punggung tangan Ustaz Ja’far dan berlalu meninggalkan rumah itu. Lelaki itu meyakini bahwa salah satu cara supaya ilmu bermanfaat adalah dengan cara hormat kepada guru. Keyakinan itu yang dipegangnya sejak kecil, berharap ilmu-ilmu yang dimiliknya bisa bermanfaat. Sebab itu, minta izin kepada Ustaz Ja’far menurutnya sangat perlu sebelum menuntut ilmu.

***

Beberapa tahun kemudian. 

    Yusuf baru saja pulang dari kota. Dia membawa kabar gembira bagi Mak dan Bapaknya. Beberapa buah tangan dibawanya.

    “Mak, Pak Alhamdulillah Yusuf sudah lulus kuliah kedokterannya. Hafalannya juga sudah khatam. Ini makanan buat Mak dan Bapak.” Dengan bangga lelaki berkumis tipis itu memamerkan prestasi kepada kedua orang tuanya seraya mengangsurkan buah tangan darinya.

    “Alhamdulillah.” Mak dan Bapak Yusuf menanggapi putranya itu hampir bersamaan. Mereka bertiga kemudian saling berpelukan.

    “Suf, di musala sekarang enggak ada yang ngajar mengaji lagi,” ucap ibunda Yusuf, seusai acara lepas rindu.

    “Loh, Ustaz Ja’far ke mana, Mak?” tanya Yusuf.

Baca juga: Cerpen Bisikan Kedai Kopi

   “Ustaz Ja’far sudah meninggal dua minggu lalu. Belum ada yang mau menggantikan beliau. Kalau bisa mungkin kamu menggantikannya, Suf?” Lelaki yang dipanggil bapak oleh Yusuf itu memberikan tawaran untuk putranya. 

    “Baiklah, Pak. Kalau begitu insyaallah nanti bakda Magrib saya mulai saja ngajarnya.” 

    Kedua orang tua Yusuf tampak lega dan tersenyum bangga kepada anak semata wayangnya itu. 

   “Kalau begitu Yusuf mau bersih-bersih diri dulu, ya, Mak Pak. Oh, ya nanti sore Yusuf mau izin ziarah ke makan Ustaz ja’far, ya, Mak.” Yusuf beringsut menuju kamarnya terlebih dahulu setelah mendapat restu dan anggukan dari ibunya.

    Jam dinding menuju angka empat. Udara tampak segar, karena baru saja hujan turun. Kini yang tersisa aroma tanah kering yang terguyur hujan masih bisa masuk ke indra penciuman. Lelaki yang sudah lulus dari kuliah kedokteran-nya itu baru saja usai melaksanakan kewajiban salat Asar. Dia bersiap menuju pemakaman desa bersama bapaknya. 

    “Ayok, Pak kita ke makam sekarang saja,” ajak Yusuf.

    “Baiklah. Ayo.”

   Pemakaman desa tidak begitu jauh dari rumah Yusuf. Sebab itu, kedua lelaki beda generasi itu memutuskan untuk berjalan kaki sembari menikmati cuaca yang indah di sore hari. Sesampai di sana, Yusuf diajak bapaknya menuju salah satu pusara yang masih terlihat baru dibandingkan dengan pusara-pusara yang lainnya. Di pusara itu mereka berdoa, memanjatkan semua hajat kepada Allah. Di sana Yusuf berharap supaya Ustaz Ja’far mendapat nikmat kubur dan diampuni segala kekhilafannya. 

    “Selamat jalan Ustaz Ja’far. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu,” lirih Yusuf sebelum meninggalkan area pemakaman. 

***


Karya: Zahra Wardah

Sumber gambar: broonet.com