Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 3)

Cerita Bersambung Mas Duda Mendua? (Bab 3)


Halo, Teman-Teman. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini Zahra Wardah mempersembahkan kembali kisah Mila dengan Mas Duda. kamu penasaran? Selamat Membaca. Jangan lupa share, ya. Kamu juga bisa mengunjungi YouTube: Cerita Keren untuk mendengarkan cerita-cerita di coretan karya. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan.

****

Bab 3: Ada Apa dengan Indah?


Suara Ibu sempat mengagetkanku. Namun, sedetik kemudian tawaku pecah seketika kala melihat Ibu dengan lipstik yang melewati bibir. Ekspresinya pun terlihat lucu. 

“Ibu mau ke mana? Itu kenapa dengan bibir?” Aku menunjuk Ibu tanpa menatapnya, menahan tawa dengan berpaling darinya.  

“Enggak ke mana-mana. Meski Ibu sudah tua, tetap mau cantik kayak anak muda, dong. Kamu ini, mandi dulu baru makan. Nanti makanan Ibu tercemar bakterimu!” Pekik Ibu dengan penekanan pada kalimat terakhir. Tangannya pun menutupi area mulutnya. Malu. Lantas, beliau kembali masuk kamar dengan sengaja menekankan langkahnya seperti anak kecil yang tak diperbolehkan makan permen. 

Baiklah, sebagai anak yang baik aku mengikuti titah Ibu. Baru keluar dari kamar mandi, ponsel yang tergeletak di kasur berdering. Sembari mengeringkan rambut dengan handuk, aku meraih ponsel itu.

“Halo, ada apa. Ndah?” tanyaku cepat setelah mengangkat panggilan telepon dari Indah.

Sejenak tak ada jawaban dari ujung telepon. Justru suara tangisan Indah yang memenuhi ruang dengarku.

“Hei! Ada apa, Ndah? Kenapa nangis?” Nadaku lebih tinggi dari sebelumnya.

Indah tak sanggup berkata dengan jelas. Dia hanya terbata-bata menyebutkan nama rumah sakit tempatnya berada. Aku bergegas, tak tahan dengan suara Indah dari seberang sana. Namun, saat melewati ruang makan, tiba-tiba isi perut meronta-ronta. Perih.

“Ah, Indah pasti tak masalah aku tinggal makan dulu bentar.” 

Baru dapat setengah piring habis, bayangan Indah yang merengek menggangguku.

“Dasar anak nakal.” 

Aku segera menyambar tas jinjing yang tadi aku hempaskan ke kursi begitu saja. Sebelumnya aku habiskan air putih yang tinggal seperempat terlebih dahulu. 

“Bu, aku pakai mobilnya. Mau keluar dulu. Assalamualaikum.” Setengah berlari aku menuju garasi tanpa menghiraukan balasan Ibu. 

Sepanjang jalan aku merutuki nasib Indah. Kasihan dia. Anak polos, tetapi kadang buatku sebel. Sampai-sampai mobil yang kukendarai hampir menabrak anak kucing yang sedang menyeberang.

***

Aku terpaku dengan jarak hanya beberapa meter dari Indah duduk, setelah pandanganku menangkap lelaki yang aku kagumi berada di sana juga. Sementara itu, mimik wajah Indah lesu dan tampak pasrah. Kondisi macam apa ini? 

“Indah, ada apa ini sebenarnya? Kamu baik-baik saja?” Aku memulai percakapan di tengah heningnya semua orang.

“Mila. Kamu sudah sampai?” 

Indah lari, lantas memelukku erat. Tangisannya pecah seketika.

“Dasar cengeng,” gumamku dalam hati.

Seperti orang yang linglung, aku mengulangi pertanyaan terakhir tadi. Untungnya Indah segera mengurai pelukannya, lalu mulai menjelaskan kejadian yang sesungguhnya. 

“Jadi, tadi saat aku pulang dari rumahmu. Aku tak sengaja menabrak anaknya Mas itu.” Indah menunjuk dengan syarat ke arah Mas Juki.

“Iya. Anak saya Anin. Tadinya sudah saya larang untuk ikut berjemaah Magrib di musala, tapi ternyata setelah saya pergi tanpa saya sadari dia mengekor lari jauh di belakang saya. Mungkin, Dek Indah ini kaget juga saat Anin menyeberang tanpa melihat kanan kiri terlebih dahulu. Jadinya ketabrak,” timpal Mas Juki.

Cara Mas Juki menjelaskan, sih, biasa saja. Namun, aku begitu hanyut. Hanyut dalam ketampanan tiada batas itu. Aku meleleh. 

“Hei! Mila. Kamu baik?” Kedua tangan Indah tiba-tiba sudah melambai di hadapanku. 

“I—iya, baik. Kenapa Mas Ganteng di sini?” Pada kalimat terakhir aku berbisik tepat di telinga Indah. 

Bukannya menjawab, respons Indah tampaknya tak kalah terkejut sepertiku. Matanya terbelalak mengisyaratkan pertanyaan ‘ah, yang benar? Berarti ini tetangga barumu itu?’. Tanpa ada yang keluar dari mulut Indah, aku mengangguk pelan. Sebab, aku tahu Indah tak begitu paham wajah lelaki yang kubuntuti bersamanya tadi siang. 

“Ya, ampun.” Tanpa rem mulut Indah terbuka lebar sekali.

“Ada apa, Dek?” Mas Juki spontan turut nimbrung percakapan kami, meski tampak begitu sedih raut wajahnya. 

Aku dan Indah menggeleng dengan meringis. Untungnya dokter tiba-tiba keluar dari ruang operasi, lantas memberitahukan kalau pasien atas nama “Anin” sudah membaik setelah lengan tangan kirinya dijahit lumayan banyak. Hanya saja harus hati-hati dan menunggu pemulihan.

Kami bertiga masuk ke ruangan Anin. Namun, baru sampai pintu kakiku terpeleset. Indah yang kebetulan berjalan di sampingku pun menopang tubuhku sehingga tak sampai jatuh.

“Adek, enggak pa-pa?” 

“Enggak pa-pa, Mas.” Senyumku muncul tanpa tahu malu. Keadaan sedih saja, Mas Juki tampan sekali, apalagi saat bahagia. Aku pastikan Mas Juki akan segera menjadi milikku. Tolong aku Tuhan. Mumpung di sini aku harus bisa mengambil hati Anin terlebih dahulu. Kesempatan emas ini. 

Pemandangan saat kami baru masuk disuguhi oleh senyuman Anin. Entah kenapa senyumnya sukses membuatku seakan menjadi Ibu. Percaya diri tingkat dewa memang diriku ini.

“Mas sekali lagi, aku minta maaf, ya. Biaya rumah sakit semuanya biar saya yang nanggung.” Indah merusak suasana hatiku saja. Dasar. 

“Enggak pa-pa, Dek. Lagian itu tak seutuhnya kesalahan Dek Indah. Saya enggak nuntut, kok. Tenang saja. Urusan bayaran rumah sakit biar saya saja.” 

Entah kenapa aku makin meleleh saja dengan Mas Juki. Ternyata bukan hanya rupanya saja yang tampan, melainkan hatinya juga. Indah berterima kasih sekali dengan kebaikan Mas Juki. Terbukti beberapa kali Indah mengucapkan “terima kasih” dengan menundukkan kepala.

***

Sesekali aku melirik Indah, tertangkap pandangannya selalu ke arah jam tangannya. “Ayok, pulang sudah malam ini,” bisiknya tepat di dekat telingaku.

Aku mendengkus kesal. Padahal baru saja mulai mendekati Anin. Dasar Indah selalu merusak suasana. Akan tetapi, kali ini aku maafkan dan turuti kemauannya. Sebab dia juga auk bisa sedekat ini dengan Mas Juki dan anaknya. Lain kali, mungkin aku biarkan dia pulang sendiri. 

“Mas, kami izin pulang dulu, ya. Ini Indah sudah merengek-rengek.” 

“Baiklah. Terima kasih, ya, Dek Indah, Dek Mila.” Senyumnya begitu manis. Madu sudah jelas kalah manis. 

Baca juga: Contoh Cerita Anak Indonesia yang Berjudul Buku Gambar Kamil

Indah sudah bergerak menuju pintu, menyadarkanku bahwa aku pun harus segera mengekor. Namun, tiba-tiba aku terpeleset. Hampir saja tubuhku menyentuh lantai. Mas Juki dengan sigap menopang. Bak di film-film romantis. 

“Kamu enggak pa-pa, Mila?” tanya Mas Juki.

Tak sanggup lagi mulutku mengeluarkan kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk pelan tanpa napas. 

“Tapi itu pipi?”

Aduh, ketahuan. Aku segera memperbaiki posisiku dan melepaskan diri dari topangan Mas Juki. Pipi. Kenapa kamu tak bisa menyembunyikan warna merahmu? Aku merutuki diri. 

“Enggap pa-pa, Mas. Kalau gitu saya pamit dulu.”

Tanpa menunggu balasan dari Mas Juki, aku berlalu begitu saja. Aku tergopoh-gopoh menyusul Indah yang sudah jauh di depan sana. Untungnya Indah tak sempat menyaksikan adegan romantis barusan. Mungkin, kalau tahu dia akan habis-habisan menertawakanku. Sampai di tempat parkir, pandanganku mendadak melihat seseorang yang kukenal masuk ke area rumah sakit membawa bunga. 

***


BERSAMBUNG


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixelLab