Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat Kurban untuk Mak

Cerpen Singkat Kurban untuk Mak


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerpen Singkat Kurban untuk Mak. Jangan lupa di share, ya. Oh, ya bagi teman penulis yang bukunya hendak direview dan masuk ke sini, silakan langsung hubungi Zahra Wardah. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. aamiin.

Tonton juga cerita-cerita Coretan karya ini di youtube Cerita Keren. Klik di sini

****


“Gi, kamu enggak pergi main dengan teman-temanmu?” tanya Emak kala aku memijat kakinya di teras rumah.

Pemandangan anak-anak bermain layangan di lapangan terlihat jelas dari teras rumah kami. Sebenarnya kondisi itu sukses menaikkan gairah bermainku sebagai anak usia delapan tahun. Akan tetapi, aku menekan semua hasrat itu.

“Enggak, Mak. Lagi malas.” 

Aku tak mau Mak sedih saat aku mengeluarkan alasan tak berbaur dengan teman-teman kala itu. Akhir-akhir ini uang saku yang dikasih Mak kusisihkan untuk ditabung. Suatu malam aku mendengar suara tangis Mak dalam doanya, beliau ingin sekali berkurban sebelum ajal menjemput. Hatiku pun terhanyut dalam doanya. Dari situ diam-diam menabung uang sakuku. Aku hanya menjajakan sekedarnya saja. Bahkan, terkadang untuk minum aku rela minum air kran daripada harus beli minuman seperti teman-temanku. 

 Jadi, aku tak bisa membeli layangan seperti teman-teman. Lagi pula, aku tak mungkin bisa meminta uang lagi hanya untuk layangan. Sebab, aku paham begitu kerasnya Mak bekerja cuci baju tetangga untuk kehidupan kami, aku dan Mak. 

“Maafkan Mak, ya, Gi. Mak belum gajian. Jadi, enggak bisa membelikanku mainan seperti mereka. Kamu enggak mau main karena enggak punya layangan, kan?” 

Wajah teduh Mak menghangatkan hati. Selama ditinggal Bapak selamanya, Mak banting tulang mencari nafkah untuk kami. Aku memeluk beliau. Tak terasa air mataku luruh. Tak peduli kata orang lelaki tak boleh menangis. Bagiku tangis ini bukti cintaku kepada Mak.

“Bukan begitu, Mak. Sugi paham, kok. Yang penting Mak sehat, aku sudah senang, kok. Enggak harus main-main dengan teman.” Aku berusaha menenangkan Mak sembari menghapus sisa-sisa kesedihan di pipi.

“Terima kasih banyak, Nak. Mak doakan kamu sukses dunia akhirat.” 

“Aamiin.” Tanganku menengadah dengan khusuk.

***

Hari ini, hari kelulusanku. Wajah mereka semringah karena sebentar lagi seragam mereka berganti warna, kecuali aku. Uang yang aku tabung hendak kubelikan kambing untuk Mak. Aku sudah berniat. 

 Semua teman sekelasku datang ke sekolah bersama dengan kedua orang tua mereka. Sementara aku, pelan-pelan memapah Mak. Beberapa hari yang lalu Mak menjadi korban tabrak lari, hingga membuat kaki beliau tak normal kembali. Tongkat menjadi teman beliau. Pengumuman siswa teladan pun diumumkan oleh Pak Mahmud, kepada sekolahku. Ternyata di antara banyak nama anak yang bersekolah di sini, namaku yang disebut oleh Pak Mahmud.

Sungguh terharu dan tak kuduga. Aku anak kolot dan bodoh mampu menyandang siswa teladan di sekolah ini. Setelah aku maju ke depan, Pak Mahmud memberikan hadiah berupa uang tunai sebesar dua juta rupiah. MasyaAllah. 

Tanganku bergetar melihat amplop putih yang diberikan Pak Mahmud barusan. Seketika bayangan Mak langsung muncul di kepalaku. Usai acara sekolah, aku menghampiri Mak yang sedang duduk di teras. 

“Mak, uang hadiah ini buat kurban, Mak, ya. Ditambah dengan tabunganku. InsyaAllah bisa kebeli satu kambing,” ucapku seraya menyuguhkan senyum termanis untuk perempuan yang telah rela berkurban antara hidup dan mati atas kelahiranku ke dunia ini.

Mata Mak berkaca-kaca. Mulutnya seakan ingin berkata, tetapi tak sanggup. Beliau segera memelukku.

“Mak bangga kepadamu, Gi. Tapi, uang itu untuk keperluanmu saja. Lagian kamu, kan, masu masuk SMP”, balas Mak setelah mengurai pelukannya.

“Enggak, Mak. Aku sudah berniat dari dulu menabung buat berkurban Mak nanti.”

Selepas melobi beberapa saat, Mak pun mengikuti saranku. Akhirnya bulan depan Mak bisa berkurban. Setidaknya sebagai anak, aku bisa memberikan sedikit baktiku kepada Mak. 

Hari-hari Mak menjadi sangat berbeda dari biasanya setelah satu kambing datang ke rumah kami. Senyum beliau selalu merekah bagus sekali. Tampak jelas semangat hidupnya tumbuh subur. Termasuk semangat untuk latihan berjalan sendiri.

“Gi, Mak mau ke warung bentar, ya. Mau beli sabun colek.”

“Biar Sugi saja, Mak. Mak di rumah,” timpalku.

“Enggak usah. Kamu, kan, sudah capek tadi beberes rumah Pak Hardi. Mak, sudah sehat, kok. Tenang saja. Lagian enggak terlalu jauh. Sekalian Mak belajar jalan juga.”

Memang selama kaki Mak sakit, akulah yang menggantikan Mak bekerja paruh waktu beberes di rumah tetangga untuk hidup kami. Aku sangat senang melakukannya. 

“Baiklah, kalau begitu. Hati-hati, Mak.” Nadaku sedikit meninggi karena Mak sudah berlalu agak jauh dariku. Beliau pun hanya menggoyangkan telapak tangannya sambil tersenyum.

***

“Gi! Sugi! Makmu jatuh di jalan tadi!” Teriak Pak Hardi dan dua orang bapak-bapak seraya membopong Mak masuk ke rumah.

“Ya Allah.” Aku melihat kepala Mak sudah bersimbah darah.  Lantas, aku lekas menolong untuk meletakkan Mak di atas kasur.

“Ikhlaskan, Gi. Makmu sudah kembali kepada Allah. Seperti beliau gegar otak. Kami telat menolongnya,” ucap Pak Hardi dengan menepuk pelan pundakku.

Baca juga: Cerbung Mas Duda Mendua? (Bab 8)

Tubuhku lemas. Tiba-tiba semua gelap. Aku pingsan. Untungnya aku sadar sebelum Mak dikebumikan. Tangisku pecah saat jenazah Mak hendak dibawa ke pemakaman. Kenapa waktu begitu cepat? Senyum Mak tadi masih membekas di ingatanku. Mak bukan hanya pergi membeli sabun colek, melainkan pergi selamanya. Kutatap lekat wajah teduh Mak. Beliau seperti tidur pulas dengan tersenyum tenang. 

Baiklah sesuai saran Pak Hardi, aku telah mengikhlaskan Mak. Setelah kepergian Mak, aku menyibukkan diri mengurus kambing yang akan kukurbankan untuk Mak bulan depan.

“Boleh juga kamu berkurban atas nama makmu. Meski beliau sudah meninggal, Gi.” Itu jawaban dari Ustaz Zikri setelah aku bertanya hukum berkurban untuk almarhum Mak.

Tepat hari ini. Hari Raya Idul Adha. Niatku akhirnya terkabul. Berkurban untuk Almarhum Mak, meski beliau sudah tak ada lagi di dunia ini. 

“Mak! Aku kangen,” bisikku dalam hati saat melihat kambing kurbanku mulai di potong Ustaz Zikri.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com