Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Ketika Listrik Padam

Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Ketika Listrik Padam


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Kali ini kami mempersembahkan Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Ketika Listrik Padam. Selamat menikmati. Jangan lupa share dan comment juga, ya.

Bagi para penulis yang bukunya hendak direiew dan masuk ke Coretan Karya, segera hubungi Zahra Wardah, ya. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin.

Youtube : Cerita Keren. Klik di sini.

“Ibu! Bapak! Jangan kubur Ibu dan bapakku!” Nina tak tahan menahan sesak di dada, melihat ibu dan bapaknya dimakamkan. Sejak mengetahui kedua orang tuanya meninggal, tangisnya tak terhenti. Kini tak ada tempat bersandar. Hanya nenek satu-satunya yang dia punya.

“Nenek yakin kamu anak kuat, Nina. Semangat. Supaya Ibu dan Bapak di sana senang.” Kasiem mengelus pelan punggung cucunya yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Sebenarnya hatinya pun hancur menyaksikan kepergian putra dan menantunya sekaligus tersambar petir. Namun, takdir harus diterima dengan lapang dada. Apalagi ada cucu yang masih butuh perhatian darinya.

Matahari hampir tenggelam. Pohon-pohon randu menambah pekat area pemakaman. Padahal azan Magrib belum terdengar. Kedua perempuan beda generasi itu berjalan pelan-pelan. Saling bergandengan tangan dan saling menguatkan jiwa dan raga mereka. Kebetulan posisi rumah mereka tak jauh dari pemakaman. Tak ada sepuluh menit, Nina dan Kasiem sudah berada di rumah yang terbuat dari gedek itu.

“Nenek mau ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kita salat Magrib bareng di rumah saja,” cakap Kasiem sembari meninggalkan Nina yang duduk di ruang tamu.

“Iya, Nek.” 

Tak berselang lama, mendadak listrik di rumah itu mati. Seketika Nina teringat dengan ibu dan bapaknya kembali. Saat ibu dan bapaknya meninggal, lampu seketika padam. Inilah yang membuat Nina trauma dan ketakutan.

“Ibu! Bapak! Aku takut!” pekik Nina dalam kondisi ketakutan. Tubuhnya menggigil. Posisinya jongkok di kursi sembari mendekap kedua kakinya. Giginya gemeretak. Pandangannya kosong.

“Ada apa, Nina?” 

Kasiem membawa lampu corong kecil dengan kaca setengahnya berwarna hitam. Mimiknya begitu khawatir. Dengan tenaga yang tersisa, Kasiem mendekati Nina  setengah berlari. 

“Kamu kenapa, Nina?” Kasiem menempelkan punggung tangannya ke dahi Nina. Panas. 

“Ya Allah. Kamu demam, Nina? Sini ayok ke kamar. Nenek ambilkan air untuk kompres, ya.” Kasiem menuntun Nina menuju kamar Nina. Tak ada perlawanan, Nina hanya mengikuti titah neneknya.

“Sebentar, ya. Nenek mau ambil kompresnya dulu.” Kasiem meninggalkan Nina setelah memastikan Nina tenang dan duduk dengan baik. 

Belum sampai Kasiem datang, listrik sudah menyala kembali.

“Alhamdulillah,” bisik Kasiem seraya menuju kamar Nina. Sesampai di kamar Nina, Kasiem terkejut karena Nina tak ada di sana. 

“Nina! Nina!” 

Tak ada jawaban dari Nina. Kasiem sudah mencari di seluruh sudut rumahnya. Nihil. Sementara itu azan magrib mulai berkumandang. Wanita paruh baya itu makin cemas dengan cucunya. Terpaksa dia mencari keluar rumah, bertanya kepada bapak-bapak yang lewat hendak berjemaah ke masjid.

“Tadi sepertinya saya lihat Nina ke arah sana, Nek.” Bapak itu menunjuk arah ke pemakaman.

Setelah berterima kasih, Kasiem dengan cepat ke arah pemakaman desa. Benar. Di sana tampak Nina menangis di sebelah makam ibu dan bapaknya yang baru tadi sore di makamkan. Kasiem dengan sabar membawa pulang kembali Nina dengan kondisi yang mulai normal.

***

“Nina Nenek ke pasar dulu, ya. Beli sayur dan lauk. Kamu enggak pa-pa sendiri di rumah?” Meski Nina sudah tak menjadi anak kecil lagi, Kasiem selalu mencemaskannya. 

“Siap, Nek,” sahut Nina yang masih berada di depan laptop, mengerjakan tugas akhir kuliahnya.

Satu jam, dua jam, Kasiem belum juga pulang. Padahal jam dinding sudah menuju pada jam angka lima sore. Pada saat itu pun terjadi pemadaman listrik. Seketika Nina panik. Keringat dinginnya keluar. Nina lari keluar rumah supaya tak merasakan mati lampu. Sampai di halaman rumah, napas Nina tak beraturan. Jantungnya terasa hampir copot. 

“Kenapa, Nina?” Kasiem yang baru datang memandang dengan saksama cucu kesayangannya itu. 

“Listrik padam, Nek. Aku takut.” 

Kali ini Nina sudah bisa sedikit mengontrol diri kala listrik padam. Namun, trauma atas kematian kedua orang tuanya itu masih membekas di ingatannya. 

“Alhamdulillah. Kamu enggak kenapa-napa, kan?” selidik Kasiem. 

Tanpa menjawab pertanyaan neneknya, Nina seketika memeluk Kasiem yang berada tepat di sampingnya. 

“Aku takut banget, Nek.” Tangisnya pecah di pelukan Kasiem.

Kasiem menghela napas panjang, lantas mengeluarkan pelan-pelan. Dia bersyukur sekali sampai saat ini masih diberi kesempatan Tuhan untuk menyaksikan cucu satu-satunya.

“Kamu sudah hebat, Nina. Nenek bangga dengan kamu,” lirihnya sembari menepuk-nepuk pelan punggung Nina. 

Kemudian mereka berdua masuk ke rumah beriringan. Beruntungnya listrik sudah hidup kembali. Alhamdulillah. Tak lama kemudian azan magrib berkumandang. Nina dan Kasiem salat berjamaah di rumah. Tepat selepas salat Magrib, lampu di rumah itu mati kembali.

“Kamu enggak pa‐pa, Nina?” Jelas sekali raut wajah Kasiem penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Nina yang tampak gemetaran. 

Nina mengangguk cepat. Sempat bayangan ibu dan bapaknya hadir sekelebat. Akan tetapi, Nina sudah mampu melawan rasa traumanya. 

“Kalau gitu kamu tenang dulu di sini, ya. Nenek mau nyari senter,” pamit Kasiem.

“Iya, Nek,” balas Nina pelan. 

Baca juga: Cerpen Singkat Kurban untuk Mak

Kasiem mencari senter ke sudut-sudut rumahnya. Tak sengaja Kasiem menumpahkan air minum yang berada di meja makan, lalu dia terpeleset. Bunyi lebam pun sampai ke pendengaran Nina. 

“Nek! Nek! Suara apa tadi, Nek.”

Tak ada jawaban dari Kasiem. Masih dalam keadaan gelap Nina mencari asal suara. Meski dirinya sendiri sebenarnya tak sanggup lagi bergerak, tetap saja Nina memaksakan diri. Sampai di dapur mata Nina memelotot. Kasiem tergeletak. 

“Nenek!” pekik Nina, terseok-seok menuju Kasiem.

Ternyata awan kelabu belum pindah dari Nina. Kali ini dia juga menyaksikan embusan terakhir napas Kasiem. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com