Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung Mas Duda Mendua? (Bab 9)

Cerbung Mas Duda Mendua? (Bab 9)


Assalamualaikum. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Di sini kamu bisa menikmati cerpen, cerbung, cernak, cerita horor, puisi. Dan ada juga review buku teman-teman penulis. Kali ini kami mempersembahkan kembali kisah Mas Duda. Cerbung Mas Duda Mendua? (Bab 9). Selamat menikmati. Jangan lupa share, ya. 

Kamu juga bisa mengunjungi youtube Cerita Keren untuk cerita-cerita di sini. Silakan klik di sini. Terima kasih dan semoga harimu menyenangkan. Aamiin. Oh, ya satu lagi bagi yang bukunya hendak direview dan masuk ke Coretan Karya silakan segera hubungi Zahra Wardah.

****

Bab 9: Ibu atau Kakak?


“Ibu! Apa-apaan, sih? Buat aku kaget aja,” kataku setelah tergemap. 

Ibu tertawa tertahan. Mulutnya dibungkam dengan kedua tangannya. 

“Indah lagi menelepon ini,” sambungku dengan bersungut-sungut. 

Dari ujung sana suara Indah terdengar memanggil Ibu. Kebetulan sambungan teleponnya mode loudspeaker. Ibu pun dengan segera mengambil alih ponselku.

“Iya, Indah. Kamu kangen Ibu, ya?” 

Ibu mematikan tombol loudspeaker, lantas menjauh keluar kamar. Seakan tak mau aku ikut mendengar perbincangannya dengan Indah. Ah, dasar dua wanita itu memang bersekongkol melawanku. Awas saja. Tak sampai lima menit Ibu kembali dengan menatapku yang masih di posisi semula tajam. Ada apa dengan Ibu? Usai ditelepon Indah gerak-geriknya aneh.  

“Kamu beneran memang mau sama Mas Juki?” tanya Ibu dengan memindai dari kepala hingga kakiku seraya mengangsurkan ponsel yang sudah mati.

“Ibu. Nanyanya biasa aja kenapa. Aku jadi takut kalau begini.” 

“Mau apa enggak?” lagi dengan nada yang meninggi.

“Iya, mau. Kenapa emangnya?” jawabku tak kalah jutek.

Napas panjang dan berat Ibu bisa kurasakan. Seperti ingin melepas sesuatu, tetapi masih belum rela. Hening untuk sekejap. 

“Baiklah kalau itu yang kamu mau. Mulai sekarang Ibu akan mendukung. Ingat jangan sampai nanti mengganggu kuliahmu. Atau kamu menikah aja dulu sama Mas Juki?” Kini tatapan Ibu sedikit menggoda dengan memajukan wajahnya ke wajahku.

“Apaan, sih, Ibu ini? Aku, kan, masih kecil. Baru kemarin lulus sekolah.”

Jauh dalam hati di sana sebenarnya sangat mau. Namun, malu mengungkapkan di depan Ibu. Lagi pula, di depan bangku kuliah sudah menungguku. Sekarang yang terpenting adalah mendapatkan dulu hati Mas Duda tampan itu.

“Oke. Ibu kunci, ya, kata-katamu barusan. Kamu harus bertanggung jawab dulu dengan kuliah. Sudah Ibu mau lanjut bersih-bersih dulu.”

Nasib punya Ibu yang fanatik dengan kebersihan. Anaknya ditinggal bersih-bersih terus. Ibu berlalu meninggalkanku. Hatiku lega sudah mendapat restu Ibu. Senyuman manis pun tergambar di bibir. Ini mungkin karena Indah. Oke, dengan cepat aku meraih ponsel kembali. Tak perlu menunggu lama, suara Indah terdengar dari jauh di sana.

“Terima kasih, ya, sahabatku,” ucapku, senang.

“Untuk?” 

“Untuk tadi. Kamu tadi meyakinkan Ibu supaya merestui aku dengan Mas Duda, kan?” Aku sedikit bingung. 

“Oh, bukan apa-apa. Aku hanya menceritakan begitu terobsesinya dirimu dengan Mas Duda. Itu aja. Enggak lebih,” cerocos Indah.

“Itu namanya kamu sudah meyakinkan ibuku. Dasar!” Nadaku meninggi, geram dengan jawaban Indah barusan. 

Kami berlangsung mengobrol dengan beberapa topik selain Mas Duda. Tentang indekos Indah yang sepi, masak sendiri, dan lain-lain. Kami habiskan waktu hampir satu jam. Hingga aku melupakan sesuatu. Iya, aku harus ke rumah Mas Duda. Anin hari ini les.

“Aku tutup dulu, ya. Kasihan Anin pasti sudah menungguku.”

“Oke. Semoga sukses, ya. Jangan lupa luluhkan hati Mas Duda. Dah.” Indah menutup sepihak.

Dasar. Aku yang seharusnya menutup lebih dulu. Eh, dia dulu memutus sambungan telepon tanpa aba-aba. Sudahlah. Tidak ada lagi waktu untuk memikirkan Indah. Sekarang Anin lebih penting. 

***

“Maaf, Anin Ibu telat. Eh, Kakak maksudnya.” Konsentrasiku buyar saat di hadapan Anin dengan napas yang masih tak beraturan.

“Kakak lama banget. Anin enggak ada temannya tadi. Jadi, terpaksa Ayah enggak pergi kerja karena nunggu Kakak. Oh, iya ayo masuk dulu, Kak.” Anin mempersilakanku masuk ke rumahnya terlebih dahulu. 

Wah, berarti Mas Duda di rumah kali ini. Ini kesempatan mengutarakan isi hati. Hatiku gamang. Oke, aku harus cari waktu yang tepat. Setelah mengajar Anin mungkin. Sampai di ruang tengah, tempat biasa kami belajar tampak Mas Duda sedang menonton televisi. Seulas senyumnya saat menyadari keberadaanku sukses membuat jantung hampir loncat keluar.

“Anin, tolong ambilkan Ibu Mila. Eh, Kak Mila minuman!” teriaknya.

Ibu? Apakah ini kode-kode. Tolong, lindungi jantungku. 

“Iya, Yah!” Suara Anin terdengar dari dapur. 

Aku kikuk. Salah tingkah sendiri. Hingga tak sadar pot bunga di meja tersenggol dan jatuh. Untung enggak pecah. Keringat dingin memenuhi dahi. Baru kali seorang Mila sampai keluar keringat dingin karena lelaki. 

“Dek Mila baik?” Mas Duda cepat-cepat membantuku.

Untuk beberapa detik mata kami bersirobok. Senyum Mas Duda manis sekali, meski hanya sedikit. Ciptaan Tuhan satu ini sungguh sempurna di mataku. 

“Dek?” Tangan Mas Duda bergoyang di depan wajahku.

“Eh, iya. Enggak apa-apa, Mas. Oh, ya, boleh aku tanya sesuatu?” 

Aku menyumpal mulut yang tak tahu diri ini dengan kedua tangan. Dalam hati aku merutuki diri. Bisa-bisanya pertanyaan itu keluar tanpa permisi. 

“Boleh, tanya apa? Tapi sebelumnya ....” Mas Duda mengarahkan pandangan pada tangannya yang tak sadar aku pegang.

Spontan aku melepas tangan Mas Duda. Apa ini? Mimpi? Baru saja aku merasakan tangan Mas Duda. 

“Maaf, maaf, Mas sekali lagi.” Aku menangkupkan kedua tangan. Sejurus dengan itu Anin datang membawa dua minuman. 

“Ayah, ngapain? Kenapa Bu Mila memohon begitu? Ayah jangan jahat sama Bu guru Anin, ya.” 

Baca juga: Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Ketika Listrik Padam

Anin menaruh minuman di meja dengan kasar, lalu berkecak tangan memarahi ayahnya. Lucu sekali ekspresi Anin. 

“Ayah, nih. Jangan gangguin kami. Ayah pergi saja sana,” sambungnya sebelum Mas Duda membela diri.

“Oke, oke. Ayah minta maaf. Ayah pergi dulu kalau begitu. Saya pamit dulu, ya, Bu.” 

Mas Duda menatap Anin dan aku bergantian sebelum berlalu. Kemudian, aku dan Anin saling pandang dan melempar senyum. Layaknya menang dalam pertarungan. Dalam hati aku bersyukur Anin menyelamatkanku dari kungkungan pesona Mas Duda. Terima kasih, Anin.

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay.com