Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerbung Mas Duda Mendua? (Bab 8)

Cerbung Mas Duda Mendua? (Bab 8)


Assalamualaikum, Teman-Teman. Selamat datang kembali di Coretan Karya. Masih ingat dengan Mila? Yok, kita lanjutin di Cerbung Mas Duda Mendua? (Bab 8). Jangan lupa komen dan share, ya. Kamu juga bisa ke youtube Cerita Keren untuk cerita-cerita di sini. Klik saja di sini.

Bagi teman penulis yang bukunya berkenan direview dan masuk ke bog ini, segera hubungi Zahra Wardah. Terima kasih dan semoga harimu menyennagkan.

****


 Bab 8: Kepergian Indah


Mataku mengerjap pelan. Lantas, pandanganku menyapu ke seluruh sudut yang bercat putih. Mas Duda tak ada. Beberapa orang di bawah sana melambaikan tangan pertanda menyuruhku segera turun. Ternyata Mas Duda hanya halusinasiku. Lantas, dengan menekan rasa sakit di kaki aku mengekor Indah yang sudah jauh di depan. Kemudian, acara berlangsung dengan lancar sampai selesai. Syukurlah drama hari ini telah usai.

Teman-teman berkumpul dengan keluarganya masing-masing. Kebanyakan mereka berfoto-foto untuk mengabadikan momen kelulusan dengan kedua orang tuanya.  Termasuk Indah. Berbeda dengan aku. Hanya bisa mengabadikan momen ini dengan Ibu. Di sudut hatiku seperti ada yang kosong akan kasih sayang. Tak terasa titik-titik air dari mata keluar, menyaksikan pemandangan di depan mata. 

“Kak Mila, kenapa menangis?”

Tak kusadari, ternyata ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikanku. Aku berbalik badan, lalu mengusap jejak kesedihan yang baru muncul. 

“Kak Mila?” lagi-lagi Anin berusaha memastikan bahwa aku sedang sedih.

Aku pun kembali ke posisi semula. Ternyata Ibu pun menatapku, pilu. 

“Sini, Nak. Ibu tahu kamu pasti merindukan Ayah.” 

Kedua tangan Ibu merentang. Spontan aku menyambutnya, memeluk Ibu. Tangisku pecah di pelukan wanita yang telah melahirkanku tanpa menghiraukan keberadaan Anin di sana. Ibu menepuk pelan punggungku dan berkata, “it’s oke, Sayang. Kamu anak hebat. Kita pasti bisa melalui bersama tanpa Ayah.”

Aku tak setangguh yang orang lihat. Kata mereka aku ini tomboi, preman. Di balik itu, fakta yang sesungguhnya  adalah aku rapuh tanpa kasih sayang seorang Ayah. Aku berusaha menutupi semua itu dengan berlagak menjadi preman. 

“Ibu sayang Mila, kan?” tanyaku memastikan. Aku tak mau lagi kehilangan. Cukup Ayah. 

“Kenapa tanya begitu? Jelas sekali Ibu sayang anak Ibu satu-satunya.”

Kembali Ibu memelukku. Kini lebih erat dan lebih hangat. Tiba-tiba Anin pun bergabung dan memeluk kami berdua. Drama hari ini ternyata masih berlanjut. 

***

“Tante maafin Indah selama ini, ya. Doakan Indah betah di sana dan lancar kuliahnya.” 

Baru kali ini aku melihat Indah mewek. Kayak anak kecil saja. Langit mendung. Sesuai dengan suasana kali ini. Indah pamit ke luar kota untuk melanjutkan studinya ke kampus ternama. Dari sekolah kami Indah termasuk yang mendapat beasiswa ke kampus itu. Dia sudah menganggap Ibu sebagai orang tuanya sendiri. Itu sebabnya sebelum berangkat, Indah menyempatkan diri ke rumah terlebih dahulu. Anak baik.

“Udah, udah. Itu sudah ditunggu orang tuamu di mobil.” 

Aku menyadarkan aksi Indah. Sudah seharusnya dia cepat ke mobil. Kasihan orang tuanya yang sudah sejak tadi menunggu. Terakhir, Indah memelukku erat dengan berbisik, “jangan buat sedih Tante, ya, Mil. Aku akan rindu denganmu.”

“Iya, iya. Sudah cepetan sana.” Aku mengurai dekapannya. 

Indah pun berlalu berikut dengan seulas senyum. Tiba-tiba hatiku terasa sedikit sesak. Kenapa ini? Masak gara-gara Indah pergi? Tidak. Aku adalah wanita tangguh.

Lima menit sudah kepergian Indah. Rumah terasa sunyi. Tak ada canda dan tawa darinya. Aku termenung di kursi bisu. Suara ketukan membuyarkan lamunan. Langkah malas kubuka pintu. Masyaallah. Ciptaan Allah yang sempurna terpampang jelas di hadapanku. 

“Mas Duda?” lirihku tanpa kedip.

“Iya?” 

Aku sadar suara itu bukan milik Mas Duda. Segera aku memuyu-muyu mata, lalu memelotot memastikan bahwa yang di datang adalah Mas Duda. 

“Oh, iya. Ada apa, Bu?” tanyaku setelah menyadari yang bertamu bukanlah Mas Duda, melainkan Bu Indri. 

Bisa-bisanya ibu-ibu menjadi Mas Duda di penglihatanku. Refleks memukul pelan kepala. Sebegitu kagumnyakah diriku kepada Mas Duda? Apa aku harus jujur saja dengan perasaanku kepada Mas Duda? Nanti kalau ditolak bagaimana? Tapi, kalau enggak diungkapkan nanti Mas Duda keburu diambil orang? Aduh. Kenapa isi kepalaku ini?

“Ini, Mil. Saya mau laundry baju. Tadi aku ke sana, tapi sudah tutup.” Bu Indri menunjuk tempat laundry Ibu yang tak jauh dari rumah. 

“Oh, iya, Bu. Sebentar saya catat dulu, ya, baju-bajunya.”

Secepat kilat aku masuk mengambil pena dan selembar kertas. Semua aku conteng sesuai jenis baju yang dilaundry oleh Bu Indri. 

“Terima kasih, ya, Mila. Besok kalau sudah siap bisa diantar, kan?”

“Bisa, Bu. Nanti pegawai kami akan mengantar ke alamat Bu Indri.” Senyumku menghantarkan kepergian Bu Indri. 

***

Tak ada yang bisa kujahili lagi. Tak ada lagi yang membuat ramai kamar ini. Sekarang baru terasa sepi tanpa Indah. Sahabat satu-satunya yang kadang menyebalkan juga. Kuhabiskan waktu di kamar. Mau ngapain lagi coba? Sekolah sudah lulus. Kuliah pun belum masuk. Jadi pengangguran sejati kali ini aku. Suntuk. 

Oh, ya, kalian tahu kenapa aku enggak kuliah di luar kota juga dengan Indah. Kan, bisa lewat jalur biasa. Bukan beasiswa seperti Indah. Bisa, sih, bisa. Semua itu karena Ibu Nisa. Ibu tak memperbolehkan putri satu-satunya jauh darinya. Jadi, dengan berat hati aku harus menerima takdir untuk kuliah di sini. Kampus terdekat dari rumah. 

Sejurus dengan otakku yang terisi oleh bayangan Indah. Ponselku berpendar tanda panggilan masuk. Setelah kulihat tertulis di sana “sahabat bawel”. Itulah Indah. Tiba-tiba saja hatiku berbunga-bunga ditelepon oleh Indah. Berbeda dari biasanya. Ah, memang lebai aku ini. 

“Ada apa, Neng menelepon? Kangen, ya?” tanyaku setelah menjawab salam Indah dari seberang sana.

Tawaku pecah seketika. Indah menampik, lalu tergelak tak kalah keras dariku. Sampai gendang telinga rasanya hampir pecah. Beberapa detik habis untuk tertawa. Lantas hening beberapa saat.

“Lagi ngapain, Mil?” Indah memecah senyap. 

“Aku lagi ....”

“Lagi mikirin aku, kan?” Lagi-lagi tawa Indah menggelegar. Ternyata orang kalem kalau tertawa sampai memekakkan telinga juga, ya.

“Ngaku aja, Mil,” sambungnya.

Baca juga: Cerpen Singkat tentang Kehidupan yang Berjudul Kipas Angin Musala

“Iya, mikirin kamu. Kenapa harus ke luar kotanya secepat ini? Padahal, kan, masuk kuliah masih beberapa hari lagi.” Aku barusan mengaku. Spontan tanganku menutup mulut yang terlanjur mengungkap yang tak seharusnya keluar. 

“Tuh, kan, benar lagi mikirin aku. Tenang saja, Mil. Tiap bulan aku rencana pulang, kok. Jangan nangis gitu, ah. Masak seorang Mila nangis gara-gara ditinggal oleh sahabatnya,” celoteh Indah memuakkan.

Aku berakting muntah. “Sahabat?”

“Iya, dong. Apa coba kalau baru aja kemarin aku pergi. Kamu sudah kangen aku.” Berulang kali Indah menggodaku.

“Eh, bagaimana kabar Mas Dudamu itu? Jangan nunggu lama-lama, Mil. Ungkapkan saja isi hatimu. Nanti kalau diambil orang baru nyesel, loh,” ucap Indah.

“Apapun itu, Mil. Aku akan mendukungmu dari sini. Semangat, ya,” lanjutnya.

Tak sadar aku mengangguk-angguk pelan, membenarkan kata-kata Indah. Belum juga kami selesai mengobrol, tiba-tiba wajah Ibu di hadapanku. 

***


Karya: Zahra Wardah

Ilustrasi: pixabay dan pixelLab